Jumat, September 27

seiring pudarnya benci

saya pernah membenci dia, seorang karib ketika sekolah di perantauan dulu.

kebencian itu akhirnya membuat saya lupa, bahwa kami pernah dekat, sebagai sahabat. saya tidak lagi pernah mengingat-ingat sebuah masa dimana ada dia juga berarti ada saya di sampingnya. saya lupa bagaimana dulu kami berangkat pulang selalu bersama. menghabiskan malam menyusur kota, sekadar makan atau melepas penat saja.

saya lupa, kami pernah seperti saudara. sebab kami sama-sama jauh dari keluarga. begitulah, kebencian akhirnya membuat saya menjauh. kami akhirnya terpisah. saya atau dia tidak lagi pernah bertemu.

hingga akhirnya limabelas tahun pun berlalu.

kemajuan jaman, jaringan pertemanan dunia maya mebuat kami kembali terhubung. melihat nama dan wajahnya muncul di layar komputer, membuat saya tertegun.

saya mengamatinya. raut muka yang sama. tidak ada banyak yang berubah pada dirinya, kecuali badannya yang sedikit gemuk.

barangkali rasa benci juga punya warna. guyuran hujan sekian musim, diseling terik matahari bertahun-tahun, disambung dingin malam beratus-ratus purnama, sepertinya memudarkan rasa benci saya.

atau mungkin karena bertambahnya usia, membuat saya pikun, atau malas mengingat-ingat, apa pokok soal di antara kami sebenarnya.

melihatnya tersenyum sembari menimang buah hati membuat saya ikut tersenyum. lalu saya menuliskan sebaris kata untuknya, sekadar bertanya kabar.

'kalau kamu lagi di jakarta, bilang ya, aku pengen ketemu kamu walaupun cuma sebentar saja', begitu balasnya.

kalimat sederhana. tetapi berarti banyak buat saya.

bulan depan, ada urusan pekerjaan yang mengharuskan saya kembali pergi ke ibukota. seperti yang sudah-sudah, saya belum juga mengabarinya. barangkali saya memang tidak pernah berani kembali menemuinya. saya takut, seiring memudarnya benci, sebuah rasa lain yang pernah terselimutinya kembali muncul. ialah, cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar