Sabtu, Oktober 19

saya rindu hujan

sudah hampir enam bulan kampung saya tidak pernah diguyur hujan. kadang-kadang, saya rindu hujan. rindu aroma tanah yang basah. rindu melihat pucuk-pucuk daun membaru kuning bersemu hijau.

beberapa hari ini, langit kadang terlihat gelap, mendung. tapi hujan belum juga kunjung datang.

hingga tadi malam, selepas maghrib angin berhembus kencang disertai hujan yang turun dengan deras. hujan datang tiba-tiba.

begitu kuat angin yang menghembus membuat pohon-pohon seperti bergerak, terjerat ingin berlari, berlindung. limbung ke kiri, limbung ke kanan tapi tertahan.

jendela yang sudah tertutup rapay pun tiba-tiba kembali terbuka. untunglah, si sulung sigap dan kembali menutupnya.

kemudian kami dikejutkan dengan suara atap yang berderak-derak. ya, atap seng rumah kami seperti tak kuat menahan angin. dan benar, sebentar kemudian banyak air menetes di kamar raksasa kami. menggenang membuat lantai menjadi basah.

kami panik, buru-buru menggulung karpet, mengambil ember untuk menadah dan kain lap untuk mengepel.

dua anak terkecil kami menangis ketakutan. istri sayadengan sabar menenangkan mereka.

saya dan si sulung menata ember, mengelap, mengepel. kemudian saya naik ke atas dia membantu saya naik, masuk ke dalam plafon, dan terlihat jelas atap rumah kami menganga lebar.

saya khawatir air akan membuat listrik kami mati.

kemudian kami turun, berkumpul dan berdoa bersama. kami berharap hujan segera reda. dua jam kemudian, doa kami terkabul. hujan mereda, angin serupa puting beliung hilang entah kemana.

saya rindu hujan, tapi yang tenang dengan lengkung pelangi setelahnya.